Bukan Cuma Mata Sipit, Ini Ciri-ciri Down Syndrome Sejak Bayi

Saban 21 Maret diperingati sebagai Hari Down Syndrome Sedunia. Apa saja ciri-ciri down syndrome yang bisa dilihat sejak bayi?

Kliktangerang.com – Saban 21 Maret diperingati sebagai Hari Down Syndrome Sedunia. Hari ini diperingati untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kondisi down syndrome yang cukup umum di tengah masyarakat.

Down syndrome sendiri merupakan kelainan genetik yang menyebabkan seseorang menyandang disabilitas. Apa saja ciri-ciri down syndrome yang dapat dilihat sejak bayi?

Menukil laman Cleveland Clinic, down syndrome sendiri terjadi pada orang yang dilahirkan dengan kromosom ekstra.

Kebanyakan orang memiliki 23 pasang kromosom dalam setiap sel tubuh, dengan total 46. Sementara orang dengan down syndrome biasanya memiliki salinan tambahan kromosom 21. Artinya, sel mereka mengandung total 47 kromosom.

Kondisi kelebihan kromoson di atas mengubah cara otak dan tubuh seseorang dalam berkembang.

Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja. Mayoritas kasus down syndrome bahkan dilaporkan terjadi secara acak, tanpa disertai riwayat kondisi yang sama pada anggota keluarga lain.

Namun, sejumlah penelitian telah menemukan, ibu yang melahirkan pada usia tua (35 tahun atau lebih) berisiko memiliki bayi dengan down syndrome atau jenis kelainan genetik lainnya.

Ciri-ciri down syndrome pada bayi

Di momen Hari Down Syndrome Sedunia tampaknya Anda perlu menambah informasi soal kondisi genetik ini. Salah satunya adalah ciri-ciri.

Ciri-ciri down syndrome secara fisik sendiri sesahihnya dapat dilihat sejak bayi. Gejala tersebut akan semakin terlihat jelas seiring dengan pertumbuhan bayi. Berikut di antaranya:

– wajah yang datar,
– mata sipit yang mengarah ke atas,
– leher pendek,
– telinga kecil,
– tonus otot lemah saat lahir,
– jari kelingking kecil dan menekuk mengarah ke ibu jari,
– tinggi badan lebih pendek dari rata-rata.

Ilustrasi. Ada beberapa ciri-ciri down syndrome yang dapat dilihat sejak bayi. (Kliktangerang.com/ Adi Ibrahim)

Gejala akan terus berkembang seiring pertumbuhan anak. Kondisi ini bahkan dapat memengaruhi kondisi kognitif anak, seperti menyebabkan cacat intelektual.

Misalnya, anak akan kesulitan saat belajar berjalan atau bergerak. Mereka juga kesulitan mempelajari keterampilan berbahasa hingga bermain yang melibatkan keterampilan sosial dan emosional.

Akibatnya, anak mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan hal-hal seperti berikut:

– belajar kencing di toilet,
– mengucapkan kata-kata pertama mereka,
– melangkah pertama kali,
– makan sendiri.

 

Source: cnnindonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *