Kliktangerang.com – GONJANG-ganjing keuangan negara yang semakin mengkhawatirkan pihak pemerintahan Presiden Joko Widodo, sehingga pilihan menaikkan harga BBM tampaknya sudah menjadi keharusan. Hal ini tentu saja ditanggapi oleh berbagai pihak dengan keprihatinan yang sangat mendalam. Berpihak kepada rakyat atau celaka adalah gambaran situasi pilihannya.
Pertanyaan paling mendasar sesungguhnya adalah kenapa masalah ini menjadi demikian memojokkan rakyat yang seharusnya bisa ‘adem ayem’ menikmati kesejahteraan dari kemakmuran negaranya. Kekayaan bumi Nusantara justru seakan berbalik menjadi ‘bisa’ yang meracuni kehidupan banyak rakyat penghuninya.
Indikasi kesalahan pengelolaan atas kekuatan dan kekayaan negara tampaknya sulit terbantahkan. Karena nyatanya pemerintah hanya bisa berkutat di seputar kenaikan harga berbagai komoditas secara abnormal, tambahan hutang sana sini, memajaki berbagai bidang sumber kehidupan rakyat, tingginya inflasi pangan di atas 10 persen dan naiknya angka pengangguran.
Yang juga memprihatinkan rakyat adalah ketidakmampuan pemerintah untuk memanfaatkan kekuasaannya mengatasi dominasi kelompok oligarki atas SDA milik negara. Bahkan yang terjadi cenderung sebaliknya. Miris.
Seakan terbuai oleh proyek-proyek infrastruktur yang beberapa di antaranya justru menjadi beban keuangan langsung atau tidak langsung terhadap pertumbuhan riil ekonomi masyarakat.
Apalagi ditambah alokasi anggaran menghadapi pandemi Covid-19 yang akuntabilitasnya diragukan banyak kalangan. Proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta pun bisa jadi contoh konyolnya kalkulasi manajemen pemerintahan ini.
Dan ketika ekses global atas perang Rusia-Ukraina menjadi salah satu sumbu utama goncangan ekonomi di banyak negara, maka pemerintah tampaknya minim kreativitas strategi melaksanakan ‘emergency economic’ pada rakyatnya.
Pilihan yang ada hanya di seputar fiskal, moneter, dan suku bunga dengan kebijakan yang berujung upaya menaikan harga BBM belaka.
Rakyat acapkali diberi beban sementara kaum elite oligarki diberi solusi kemudahan yang nyaris tanpa ‘reserve’ apapun. Maka tak heran bila akhirnya upaya pengurangan subsidi BBM menjadi sangat diragukan kalkulasinya dan mendapat penolakan di mana-mana.
Berbagai analisis kerapuhan dan ketimpangan cara pengelolaan ekonomi dan politik telah banyak disampaikan secara transparan oleh para ahli seperti Rizal Ramli dan Anthony Budiawan, namun tampaknya kekuasaan atas pemerintahan lebih dominan ketimbang akal sehat keilmuan demi menyelamatkan situasi abnormal ini.
Sekarang meskipun Menko Marves sudah bicara bahwa presiden akan umumkan kenaikan harga BBM itu sejak minggu lalu, tetapi rupanya presiden masih memerlukan kepastian pengamanan sosial politik yang akan menyertai keputusannya itu.
Hal yang paling mendasar yang harus jadi prinsip kebijakan sesungguhnya bukan sekadar harga, tetapi kejujuran. Karena jangan sampai di dalam upaya pengurangan subsidi itu ada faktor politis ekonomis, sehingga unsur pembodohan atau pembohongan kepada rakyat atas angka-angka subsidi murni terkait BBM ini.
Source: Rmolbanten